Rabu, 14 November 2012

Integrasi Politik

INTEGRASI POLITIK Alfred Hengky Senda a. Pengertian integrasi politik Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan –yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme, dan regionalisme. Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana ia berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara. Integrasi politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’ penyatuan politik di tingkat global atau regional di antara unit-unit nasional yang terpisah. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia, sedangkan dalam tingkat hubungan internasional ia menjadi ‘kesadaran baru’ dan ‘terminologi baru’ dan menjadi studi politik sistemik utama pada tahun 1950-an hinggga 60-an [Charles Pentland 1973. International Theory and European Integration. London: Faber and Faber Ltd.]. Pentland mendefinisikan integrasi politik internasional sebagai sebuah proses di mana sekelompok masyarakat, yang pada awalnya diorganisasikan dalam dua atau lebih negara bangsa yang mandiri, bersama-sama mengangkat sebuah keseluruhan politik yang dalam beberapa pengertian dapat digambarkan sebagai sebuah ‘community’. Kesepakatan yang dibuat atas integrasi ini adalah dalam kerangka penyatuan yang kooperatif bukan koersif. Ambiguitas yang terjadi dalam pemaknaan ini adalah penggunaan istilah proses ataukah hasil/end-product. Hal ini dapat diatasi oleh Lion Lindberg [dalam Political Integration as a Multi dimensional Phenomenon requiring Multivariate Measurement, Jurnal International Organization edisi Musim Gugur, 1970] dengan berfikir “integrasi politik adalah proses di mana bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk menyelenggarakan kunci politik domestik dan luar negeri secara mandiri dari yang lain, malahan mencari keputusan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan kebijakan pada organ-organ kontrol baru.” Konsep integrasi internasional/regional berbeda dengan konsep serupa tentang internasionalisme/regionalisme, kerjasama internasional/regional, organisasi internasional/regional, gerakan internasional/regional, sistem internasional/regional, dll. Integrasi menitikberatkan perhatiannya pada proses atau relationship, di mana pemerintahan secara kooperatif bertalian bersama seiring dengan perkembangan homogenitas kebudayaan, sensitivitas tingkah laku, kebutuhan sosial ekonomi, dan interdependensi yang dibarengi dengan penegakan institusi supranasional yang multidimensi demi memenuhi kebutuhan bersama. Hasil akhirnya adalah kesatuan politik dari negara-negara yang terpisah di tingkat global maupun regional [Tom Travis, Usefulness of Four Theories of International Relations in Understanding the emerging Order, Jurnal International Studies 31]. Dua Model dari End Product Terdapatlah dua tipe dalam analisa integrative process, yaitu state model dan community model. Dalam terminologi institusional, model negara sangatlah spesifik, terutama bagi penulis Federalis, di mana konsensus integrasi haruslah konstitusional –pandangan yang kurang lebih sama terdapat pada kaum Neo-fungsionalis. Sedangkan model komunitas menitikberatkan pada proses yang terjadi dalam hubungan antara rakyat/penduduk negara, dengan sedikit keterlibatan state. Lembaga politik dipandang kurang signifikan ketimbang pertumbuhan common values, perceptions, dan habits. Hal ini didukung oleh kaum pluralis, fungsionalis. Dan kaum regionalis, berpandangan jika integrasi regional yang terjadi lebih terlembagakan, maka ia state model, jika kurang terlembaga, maka ia community model. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Integrasi Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe variabel mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama, variabel politico-security, yang level of analysis-nya ada pada negara, yang perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik dalam kebiasaan politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas negara. Hal ini dilakukan oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda dengan kaum fungsionalis dan neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya variabel sosial ekonomi, dan teknologi, yang secara tidak langsung membawa perubahan dan penyatuan politik. Faktor ketiga dipakai oleh kaum regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan kedua variabel tersebut dalam proses integrasi. (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090628105221AAB56Uz) b. Tipe-tipe integrasi politik Integrasi politik tediri dari : 1. Integrasi Bangsa ialah proses penyatuan berbagai kelompok sosial budaya dalam kesatuan wilayah dan dalam suatu identitas nasional. 2. Integrasi wilayah merupakan pembentukan kewenanangan nasionla pusat terhadap wilayah atau daerah politik yang lebih kecil, yang terdiri atas satu atau lebih kelompok budaya. 3. Integrasi Nilai ialah persetujuan bersama mengeni tujuan tujuan prinsip dasar politik, dan prosedur penyelesaian konflikdan permasalan bersama lainnya. 4. Integrasi Elit dengan khalayak adalah upaya untuk menghubungkan antara golongan elit yang memerintah dan khalayak atau rakyat yangdiperintah. 5. Perilaku Integratif ialah kesediaan warga masyarakat untuk bekerja sama dalam suatu organisasi besar dan berpelilaku sesuai dengan cara yang dapat membantu pencapaian tujuan organisasi (http://indratouwe.blogspot.com/2011/10/bangsa-dan-negara.html) c. Proses integrasi yang dilaksanakan di Indonesia Kalau kita lihat dan kita buka kembali sejarah Negara kita, apalagi tahun-tahun awal setelah dicetuskan kemerdekaan, terjadi beberapa rangkaian gerakan seperatis yang serius, kita masih ingat beberapa pemberontakan, di Jawa Barat misalnya lahir pada tahun 1947 yang digerakkan oleh pemisahan diri dari Maluku pada akhir April 1950. Di Sulawesi Selatan, kekecewaan yang berkembang dikalangan militer setempat pada awal 1950 telah mendorong sebuah perjuangan kemerdekaan dengan mengunakan simbol islam untuk bergabung dalam kekuataan Darul Islam, demikian juga dengan Kalimantan, Sebelum pemerintah mampu mengakhiri perlawanan-perlawanan di Jawa Barat, Kalimantan dan Sulawesi selatan, gerakan Darul Islam telah diperkuat oleh suatu pemberontakan di Aceh pada tahun 1953. Di Sumatera Barat juga muncul gerakan perlawanan dari kalangan elit jenderal atau militer yang tidak puas dengan pemerintah pusat dengan munculnya PRRI, gerakan ini di dukung pada awalnya dari jenderal yang tidak memperoleh atau mendapatkan kepuasan dari pemerintah pusat. Dari urain tulisan diatas, dapat lihat bahwa integrasi nasional memang itu terjadi akibat adanya ketidak adilan pemerintah itu sendiri, kita meski objektif melihat persoalan kenapa mereka melakukan pemberontakan, apakah kemudian karena kekurangan roti atau beras, atau karena pembangunan yang tidak merata yang menyebabkan kesenjangan antara pusat dan daerah, pertikaian-pertikaian senjata yang terjadi di negeri kita ini, meski menjadi pelajaran yang berharga bagi generasi selanjutnya, dan bertanya kenapa gerakan pemberontakan itu bisa terjadi?. Tidak hanya sampai disitu pemberontakan juga meletus pada tahun 1958, ini juga dicetuskan atau yang menjadi motor pengeraknya adalah pemimpin pusat yang membelot karena kepentingan mereka tidak tertampung, Berdirinya dan lahirnya Gerakan Aceh Mardeka (GAM) pada tahun 1976, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), ini juga dipimpin oleh perwira-perwira militer di daerah. Jadi pada prinsipnya, munculnya gerakan gerakan sosial atau gerakan politik di Indonesia yang menjadi motor pengerak atau motor utamanya terjadinya disintegrasi atau gerakan seperatis didaerah bukan dari kalangan rakyat sipil, tapi lebih disebabkan pertarungan atau konflik perwira tinggi militer atau jenderal itu sendiri, kita bisa melihat hampir, gerakan-gerakan seperatis itu tidak digerakkan oleh masyarakat sipil akan tetapi digerakkan oleh militer dan memang terjadi pergeseran. Pada tahun 1970-an gerakan gerakan seperatis sudah mulai dilakukan oleh sipil, seperti yang terjadi di Timur-Timor. Berpisahnya Timur-Timor dari NKRI terjadi ketika munculnya [I]“Humanitarian Intervention” [/I]Negara-Negara asing sudah intervensi Negara kita, kasus di Timur Timor misalnya penulis melihat dengan munculnya PBB dan tentara Australia, adalah bukti betapa kuatnya intervensi asing masuk kenegara kita, mereka masuk dengan cara memunculkan isu pelanggaran HAM kepermukaan yang dilakukan tentara, ini kemudian digunakan sebagai alat agar pihak asing masuk untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, ikut campur tangan pihak asing tidak bisa dibendung dan mempengararuhi masyarakat. kasus di Timur-Timor adalah bukti konkrit yang tidak bisa dipungkiri betapa bahayanya, dan tidak bisa diangap remeh, kalau kemudian[I]Humaniterian Intervention[/I] asing masuk kenegara kita, tentu akan berbahaya terhadap NKRI. Sulit dan jarang memang Negara itu pecah, kecuali hanya satu atau dua Negara di dunia ini, seperti Unisoviat yang pecah menjadi Rusia, dan Bosnia, bahkan yang menarik lagi Negara gagal sekalipun sulit untuk pecah, seperti Negara Haiti misalnya, yang termasuk Negara miskin dan tidak punya infrastruktur yang kuat, tapi pertanyaannya kenapa Negara ini masih tetap bertahan sampai sekarang alias tidak pecah. Proses integrasi disebabkan adanya, kebersamaan sejarah, ada ancaman dari luar yang dapat mengganggu keutuhan NKRI, adanya kesepakatan pemimpin, homogenitas social budaya serta agama ,dan adanya saling ketergantungan dalam bidang politik dan ekonomi. Nazarudin berpendapat istilah integrasi nasional merujuk kepada perpaduan seluruh unsur dalam rangka melaksanakan kehidupan bangsa, meliputi social,budaya, ekononi, maka pengertian integrasi nasional adalah menekankan pada persatuan persepsi dan prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kembali ke persoalan integrasi, istilah integrasi politik dari pada istilah integrasi Nasional, istilah elit politik tidak hanya mencakup kepada perbedaan elit masyarakat saja, dan juga integrasi tutorial tidak hanya persoalan integrasi wilayah, kita melihat elit massa dan tutorial adalah penyebab yang paling rentan terhadap persoalan integrasi nasional. Berangkat dari pemikiran buku diatas, dapat dilihat bahwa konteks terjadinya gerakan- gerakan seperatis yang mengancam NKRI dan bahwa indikator elit yang ada di masyarakat dan indikator tutorial adalah persoalan yang tidak bisa untuk diremehkan, setiap gerakan seperatis pasti ada tokoh pengeraknya GAM misalnya, betapa besarnya pengaruh dan pemikiran elitnya seperti Hasan Tiro dalam memimpin GAM di luar negeri, dan tidak perlu lagi diragukan perannya baik dalam mobilisasi nasional maupun mobilisasi secara Internasional. Motor intelektual ini yang sangat berbahaya terhadap NKRI. Konsep Integrasi teritorial dari Coleman dan Rosberg, ia menegaskan bahwa kesetian nasional dapat dicapai dengan mengurangi atau menghilangi kesetian primordialisme. Pernyataan diatas saya tidak setuju, sebab pandangan seperti ini tidak bisa untuk diterapkan segampang yang kita lihat, Kita harus melihat persoalan dari sudut pandang nasional. Dari segi ini masalah yang dihadapi oleh suatu Negara multi etnis seperti Indoensia bagaimana cara untuk mengurangi bahkan untuk mengahapus kesetiaan primordialisme sangat sulit. Tapi saya lebih melihat dalam konteks sebaliknya, bagaimana kekuatan nasional itu memperkuat primodialisme, kita meski objektif, tidak bisa dinafikan justru kekuatan primordialisme yang kemudian memperkuat kekuatan kesatuan nasional. Konsep Bhineka Tunggal Ika adalah realitas dari promordialisme itu sendiri, kekuatan nasional tidak akan muncul tanpa adanya promordialisme itu sendiri. Pertanyaannya kenapa primordialisme meski dihapus?. Nazaruddin Sjamsudin mengatakan “Integrasi lazim dikonsepsikan sebagai suatu proses ketika kelompok social tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan sosial, ekonomi ,politik. Kelompok- kelompok sosial tersebut bisa terwujud atas dasar agama dan kepercayaan, suku, ras dan kelas. Konsepsi tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif (dengan tetap mengakui adanya perbedaan. Kemudian jalan menuju proses intagrasi tidak selalu lancer atau mulus seringkali menemukan hambatan-hambatan , itu jelas ada seperti adanya primordialisme, suku, ras, agama dan bahasa. Dalam setiap kebijakan pemerintah selalu ada reaksi setuju dan tidak setuju, hal tersebut adalah wajar apabila suatu negara dibentuk dari suatu masyarakat yang majemuk, ada yang merasa diuntungkan dan ada yang merasa dirugikan okeh kebijakan tersebut. Masalah atau persoalan integrasi Nasional dapat dari tiga kategori. [I]Pertama,[/I] masalah integrasi politik dapat dikaitkan dengan konsekuensi revolusi Nasional yang ditandai oleh tingginya tingkat mobilitas sosial yang melibatkan sebagian besar masyarakat dan penyebaran masyarakat. Dalam birokrasi juga terlihat pemerintah pusat tidak menghargai pemerintahan di daerah, misalnya penulis mencontohkan ketika rezim Orde Baru sistem desa dipaksakan keseluruh negeri dari Sabang sampai Merauke, intinya pemerintah pusat tidak menghargai [I]variasi local[/I], atau nilai-nilai lokal. [I]Kedua[/I], yang minimbulkan persoalan integrasi di Indonesia adalah tidak adanya suatu partai politik yang mempunyai kemampuan untuk mengintegrasikan kekuatan-kekuatan politik yang beraneka warna itu, meskinya partai politik kedepannya mampu menuju fungsi untuk memperkuat integrasi bangsa, dan berfungsi untuk meredam konflik di tengah masyarakat. Dalam urain tulisan ini penulis menarik kesimpulan bahwa, integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua masalah pokok yaitu, pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada tuntutan-tuntutan negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang dimiliki negara. Kedua, bagaimana meningkatkan consensus normatif yang mengatur prilaku politik setiap anggota masyarakat, consensus ini tumbuh dan berkembang diatas nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa secara keseluruhan. Negara Indonesia sangat rentan dengan masalah integrasi yang terjadi bisa kapan saja, karena kondisi Negara kita secara geografis rentan untuk terjadinya gerakan yang menyebabkan disintegrasi baik faktor dari dalam maupun dari luar Negara itu sendiri, salah satu penyebabnya kondisi geografis sebagai Negara kepulauan. Semoga NKRI tetap bersatu dan ini sudah final dari Founding Father. (http://pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72:integritas-politik-di-indonesia&catid=8:makalah&Itemid=103)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar