Rabu, 14 November 2012

DPD dalam SPI

KEBERADAAN DPD DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA Alfred Hengky Senda A. Pendahuluan Pembentukan DPD menurut ciri politik sebagaimana yang telah menjadi konsensus politik bangsa kita, tetapi juga sesungguhnya dapat kita dalami dasar-dasar teoritis yang mendukung keberadaan lembaga DPD tersebut. Secara teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, di samping antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Di samping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan. Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena Anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh rakyat, berbeda dari pemilihan Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat melalui partai politik. B. Permasalahan Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Di samping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan. Namun menjadi pertanyaan selanjutnya bahwa: sejauh mana peran DPD dalam Lembaga Perwakilan? C. Pembahasan a. Teori Perwakilan Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan. Lembaga negara ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal yang menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat. Lahirnya lembaga perwakilan dimulai zaman yunani kuno, dimana Rosseau menginginkan tetap berlangsungnya demokrasi, tetapi karena luasnya wilayah suatu negara, bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah rumitnya masalah kenegaraan, maka keinginan Rosseau tersebut tidak mungkin terealisir, maka muncullah sebagai gantinya demokrasi tidak langsung melalui lembagalembaga perwakilan yang sebutan dan jenisnya tidak sama disemua negara yang biasa disebut parlemen, atau kadang-kadang disebut dewan perwakilan rakyat. Parlemen ini lahir bukan karena ide demokrasi itu, akan tetapi sebagai suatu kelicikan dari suatu sistem feodal. Parlemen diciptakan dengan tujuan tertentu antara lain untuk menghubungkan masyarakat luas dengan raja atau pimpinan pemerintahan. Selain itu di dalam perwakilan terdapat teori klasik tentang akomodasi yang berkenaan dengan hubungan antara wakil dan terwakil, dikenal dengan teori mandat. Di dalam teori ini pada dasarnya berasumsi bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandate yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakan, bahkan termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa bersesuaian dengan kehendak dari orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya. (Wahidin, 2007 : 40). Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari : Mandat imperatif, berarti bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya. Mandat bebas, yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang diberikan. Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut, dengan demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada dirinya. Mandat representatif, merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori mandat representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu. Perkembangan berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili ini berkembang Teori Organ yang beranjak pada kualitas kelembagaan. Bahwa pemilihan organ perwakilan menjadikan semua kekuasaan berada pada lembaga yang dipilih. Sifat kolektivisme menjadi ciri khas dari teori organ. Teori ini dipandang sebagai bentuk yang lebih rasional untuk mengakomodasikan jumlah wakil yang sedikit, dibandingkan dengan orang-orang yang diwakili dalam jumlah sangat banyak. Gambaran sederhana dari teori ini bahwa di dalam negara itu ada berbagai organ yang harus berkinerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu organ dimaksud adalah lembaga perwakilan yang keberadayaannya bersifat formalistik. Dalam arti orang-orang yang duduk di dalam organ itu berada dalam kapasitas umum. Keberadaan organ itu memenuhi persyaratan formal dari eksistensi negara yang mengaruskan adanya lembaga perwakilan. Jadi tidak dideskripsikan bagaimana hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili, apakah keterwakilannya sesuai atau tidak dengan subtansi yang diinginkan oleh yang memberikan kewenangan. Di dalam perkembangan berikutnya tercatat para ahli yang melakukan telaah tentang bagaimana hubungan antara wakil dan terwakil tersebut namun pendapat para ahli dapat dipandang sebagai perkembangan teknis. misalnya gambaran hubungan wakil dan orang yang diwakili dalam nilai sosiologis yang menggambarkan bahwa lembaga perwakilan pada dasarnya adalah sebagai bangun sosial masyarakat. Jadi harus mewakili kepentingan masyarakat. Demikian pula pendapat dari Teori Hukum Objektif Leon Duguit, yang memberikan analisis tentang bangun lembaga perwakilan sebagai lembaga hukum yang berisi tidak saja keberadaan wakil dan orang yang diwakil, tetapi juga aturan-aturan tentang tentang bagaimana mekanisme perwakilan dan kinerja, daripada wakil di dalam memenuhi aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Semuanya harus dituangkan dan terlembagakan dalam hukum yang bersifat objektif. Masih ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada prinsipnya memberikan pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi yang timbul sebagai akibat dari mekanisme perwakilan. Namun pada intinya tetap pada bahasa yang sama yaitu apakah seorang wakil memang benar-benar dapat memposisikan dirinya sebagai sosok yang dapat menampung dan tentu saja yang lebih penting adalah menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan kepercayaan sebagai seorang wakil. Atas dasar-dasar mekanisme perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil, dan kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan perwakilan, maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi, dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah memberikan mandatnya. b. Sejarah DPD Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga baru dalam struktur ketatanegaran Indonesia, di mana keberadaannya merupakan lembaga yang diharapkan mampu mewujudkan aspirasi daerah. Lahirnya DPD merupakan konsekuensi dari system perwakilan yang dianut oleh UUD 1945 hasil amandemen yang menganut system perwakilan bikameral. Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia. DPD sesuai dengan hasil amandemen UUD merupakan wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPD setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang, dimana jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun. Kedudukan DPD adalah sebagai lembaga tinggi Negara yang menjalankan kekuasannya dalam rangka mewakili aspirasi kewilayahan atau kepentingan daerah. c. Tugas dan Fungsi DPD Tugas dan Wewenang DPD adalah sebagai berikut : 1. Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; 2. Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 3. Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 4. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 5. Dapat melakukan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; 6. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; 7. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; 8. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; 9. Ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Fungsi yang dilaksanakan oleh DPD adalah sebagai berikut : 1. Mengajukan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; 2. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 3. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. d. Hambatan Pelaksanaan Tugas DPD Dari pembahasan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan DPD tersebut diatas kita bisa melihat adanya perbedaan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh DPD dibandingkan dengan DPR yang sama-sama sebagai lembaga perwakilan. DPD seakan-akan hanya pelengkap dari keberadaan DPR karena kewenangan yang diberikan DPD yang tidak sebesar yang dimiliki DPR. Jika DPR mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk UU yang dibahas dengan presiden, maka DPD hanya berwenang untuk mengusulkan rancangan UU untuk diajukan kepada DPR (Pasal 42 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003). Kewenangan pengajuan usul RUU itu pun hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan dalam hal RUU tentang APBN dan hal-hal yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 DPD hanya diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR, yang dari hasil pertimbangan tersebut DPR melakukan pembahasan dengan pemerintah (ayat (3)). Selain mengajukan RUU kepada DPR, DPD juga mempunyai kewenangan untuk ikut membahas RUU yang berkaitan dengan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003. DPR akan mengundang DPD untuk membahas RUU bersama pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan tata tertib DPR. Hasil dari pandangan, pendapat, dan tanggapan masing-masing lembaga tersebut dijadikan masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah. Di sini sekali lagi kita melihat betapa kecilnya kewenangan yang dimiliki oelh DPD dibandingkan sengan DPR bahkan dengan pemerintah. Seolah-oleh DPD hampir mirip dengan staf ahli di kedua lembaga tersebut. DPD tidak mempunyai peran dalam proses menentukan keputusan. Untuk kewenangan DPD dalam hal pengawasan terhadap pelaksanaan UU juga terbatas pada masalah-masalah tertentu dan hasil dari pengawasan tersebut sekali lagi disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. DPD tak ubahnya seperti warga masyarakat biasa yang memang berhak untuk memberikan masukan dan menyampaikan aspirasinya kepada DPR sebagai wakil rakyat. Demikian juga dalam hal pemilihan anggota BPK, DPD hanya berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR secara tertulis. Selain kewenangan DPD tidak sebesar yang dimiliki oleh DPR, DPD juga tidak mempunyai beberapa kewenangan seperti yang dimiliki oleh DPR seperti membahas dan memberikan persetujuan Perpu, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah, memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial, memberikan persetujuan calon hakim agung untuk ditetapkan sebagai hakim agung, memilih tiga calon anggota hakim konstitusi, memberikan pertimbagan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi, memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. D. Kesimpulan • Kesimpulan Walupun hasil amandemen UUD 1945 telah melahirkan lembaga perwakilan baru yaitu DPD sebagai lembaga perwakilan daerah yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah sebenarnya sudah tepat, namun ternyata posisi DPD lebih rendah daripada DPR. Dengan jumlah anggota, kewenangan, dan kedudukan yang tidak setara antara DPD dan DPR, maka sistem lembaga perwakilan rakyat yang dianut oleh Indonesa adalah sistem bikameral yang lunak (soft bicameral). Hambatan-hambatan pelaksanaan tugas dari DPD justru lahir akibat dari fungsi, tugas dan kewenangan DPD sendiri. • Saran Agar tujuan DPD sebagai lembaga yang diharapkan mampu mewujudkan aspirasi daerah dan mewakili kepentingan daerah dapat benar-benar terwujud maka harus dipikirkan bersama untuk perubahan regulasi tentang kedudukan, tugas, fungsi dan kewenagan dari lembaga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar